Pandemi Covid-19 Dijadikan Senjata Politk Oleh Pemimpin Junta Militer Myanmar
Jakarta - Dengan melonjaknya angka kematian karena infection corona di Myanmar, dugaan dari para penduduk dan aktivis HAM meningkat bahwa pemerintah militer, yang melakukan kudeta pada Februari lalu, menggunakan pandemi untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyingkirkan oposisi.
Beberapa waktu lalu, angka kematian per kapita di Myanmar melampaui Indonesia dan Malaysia menjadi yang terburuk di Asia Tenggara. Sistem kesehatan yang telah lumpuh sebelumnya dengan cepat dibanjiri pasien Covid-19.
Persediaan oksigen tinggal sedikit. Pemerintah membatasi penjualan kepada swasta di banyak tempat, dengan alasan mencegah penimbunan. Tapi hal itu mendorong kecurigaan stok diarahkan untuk pendukung pemerintah dan rumah sakit militer.
Pada saat bersamaan, tenaga medis telah ditargetkan setelah memelopori gerakan pembangkangan sipil yang mendesak para profesional dan PNS tidak bekerja sama dengan pemerintah atau Dewan Pemerintah Negara (CAVITY).
"Mereka telah menghentikan distribusi APD dan masker, dan mereka tidak memperbolehkan warga sipil yang mereka curigai mendukung gerakan demokrasi dirawat di rumah sakit, dan mereka menangkap dokter yang mendukung gerakan pembangkangan sipil," jelas pakar HAM Myanmar PBB dan anggota pendiri Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, Yanghee Lee.
"Untuk oksigen, mereka melarang penjualannya ke warga sipil atau orang yang tidak mendukung CAVITY, jadi mereka menggunakan sesuatu yang bisa menyelamatkan rakyat untuk melawan rakyat," lanjutnya, dikutip dari laman ABC News, Selasa (3/8).
"Militer menjadikan Covid sebagai senjata."
Wakil Menteri Informasi Myanmar, Zae Minutes Tun tidak menanggapi pertanyaan terkait dugaan tersebut, tapi dengan meningkatnya tekanan dari dalam dan luar negeri untuk mengendalikan pandemi, para pemimpin membela diri dengan menerbitkan artikel di media mereka.
Di koran pemerintah Global New Light of Myanmar, beberapa artikel menyoroti upaya pemerintah, termasuk apa yang disebut mendorong kelanjutan vaksinasi dan meningkatkan pasokan oksigen.
Komandan militer yang memimpin CAVITY, Jenderal Senior Min Aung Hlaing dikutip mengatakan, upaya yang sedang dilakukan untuk mendapat dukungan dari ASEAN dan "negara-negara sahabat" yang tidak disebutkan secara spesifik.
"Upaya-upaya harus dilakukan untuk memastikan kesehatan negara dan rakyat yang lebih baik," ujarnya.
Angka kematian juga diduga jauh lebih tinggi dari angka resmi.
"Ada perbedaan besar antara jumlah kematian aktual karena Covid-19 dari Dewan Militer dan realita," kata seorang dokter dari Rumah Sakit Umum Mawlamyine kepada The Associated Press, yang tidak mau disebutkan namanya.
"Ada banyak orang di masyarakat yang meninggal karena penyakit ini dan tidak bisa dihitung."
Banyak video clip beredar di media sosial menunjukkan kematian yang nampaknya korban virus corona yang meregang nyawa di rumah-rumah mereka karena tidak mendapatkan perawatan dan antrean panjang warga menunggu pasokan oksigen. Pemerintah membantah laporan tempat pemakaman di Yangon dibanjiri jenazah korban Covid, namun beberapa waktu lalu mengumumkan mereka sedang membangun tempat fasilitas baru yang bisa mengkremasi 3.000 jenazah per hari.
"Dengan membiarkan Covoid-19 lepas kendali, junta militer mengecewakan rakyat Burma serta wilayah dan dunia yang lebih luas, yang dapat terancam oleh varian baru yang dipicu oleh penyebaran penyakit yang tidak terkendali di tempat-tempat seperti Myanmar," jelas Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson.
"Masalahnya adalah junta lebih peduli untuk mempertahankan kekuasaan daripada menghentikan pandemi."
Myanmar adalah salah satu negara termiskin di Asia Tenggara dan berada dalam posisi rentan ketika militer merebut kekuasaan, memicu perjuangan politik yang penuh kekerasan.
Di bawah mantan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Myanmar melewati lonjakan virus corona tahun lalu dengan pemberlakukan pembatasan perjalanan yang sangat ketat dan menutup Yangon. Vaksin diamankan dari India dan China, tetapi pemerintahan Suu Kyi digulingkan kurang dari sepekan setelah suntikan pertama diberikan.
Ketika pembangkangan sipil tumbuh setelah penggulingan Suu Kyi, rumah sakit umum tutup karena dokter dan staf lain menolak bekerja di bawah pemerintahan baru, alih-alih membuka klinik darurat di mana mereka terancam ditangkap jika ketahuan.
Beberapa tenaga medis telah kembali ke rumah sakit umum, tetapi dokter Mawlamyine mengatakan itu terlalu berbahaya.
"Saya bisa ditangkap oleh junta kapan saja jika saya kembali ke rumah sakit," ujarnya.
Menurut pakar independen Dewan PORK PBB, Tom Andrews, pasukan pemerintah terlibat dalam setidaknya 260 serangan terhadap personel dan fasilitas medis, menewaskan 18 orang. Sedikitnya 67 tenaga medis ditangkap dan 600 lainnya sedang diburu.
Rumah sakit militer terus beroperasi setelah penggulingan Suu Kyi tetapi dijauhi oleh banyak orang dan program vaksinasi melambat sebelum tampaknya gagal total sampai pekan ini. Tidak ada angka pasti terkait vaksinasi, tetapi diyakini sekitar 3 persen dari populasi yang telah menerima dua dosis.
Lonjakan pesar Covid-19 "sangat memprihatinkan, terutama dengan ketersediaan layanan kesehatan dan pasokan oksigen yang terbatas," kata Delight Singhal, kepala delegasi Palang Merah Myanmar.
"Ada kebutuhan mendesak untuk tes yang lebih besar, pelacakan kontak dan vaksinasi Covid-19 untuk membantu mengendalikan pandemi," jelasnya kepada AP.
"Lonjakan terbaru ini merupakan pukulan pahit bagi jutaan orang di Myanmar yang telah menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial yang memburuk."
Awal pekan ini, Andrews mendesak Dewan Keamanan PBB dan negara-negara anggota untuk mendorong "gencatan senjata Covid."
"PBB tidak boleh berpuas diri sementara junta dengan kejam menyerang tenaga medis karena Covid-19 menyebar tanpa terkendali," katanya.
"Mereka harus bertindak untuk mengakhiri kekerasan ini sehingga dokter dan perawat dapat memberikan perawatan yang menyelamatkan jiwa dan organisasi internasional dapat membantu memberikan vaksinasi dan perawatan medis terkait."
Baru-baru ini, China mengirimkan vaksin. China mengirim 736.000 dosis ke Yangon, gelombang pertama dari 2 juta dosis yang disumbangkan, dan lebih dari 10.000 dosis ke Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), yang telah melakukan pemberontakan selama beberapa dekade di daerah perbatasan utara di mana infection telah menyebar ke China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian menolak mengomentari laporan pengiriman vaksin ke KIA, mengatakan "epidemi adalah musuh bersama bagi seluruh umat manusia."
The International New Light melaporkan Myanmar menerima 1 juta dosis lagi yang dibeli dari China.
Wabah Covid-19 dilaporkan meluas di penjara-penjara Myanmar. Belum lama ini, MRTV melaporkan 610 tahanan di Penjara Insein Yangon sedang divaksinasi. Laporan itu disambut dengan skeptisisme dan cemoohan di media sosial.
Lee mengatakan jika pemerintah mencoba menggunakan vaksin dan bantuan lain demi kepentingan mereka sendiri dengan memposisikan diri sebagai solusi pandemi, sudah terlambat.
"Orang-orang tahu sekarang dan itu sudah terlalu lama," katanya.
"Covid bukan buatan manusia tetapi menjadi tidak proporsional karena keterlibatan dan pemblokiran layanan yang disengaja-- tidak ada jalan untuk kembali."
Beberapa waktu lalu, angka kematian per kapita di Myanmar melampaui Indonesia dan Malaysia menjadi yang terburuk di Asia Tenggara. Sistem kesehatan yang telah lumpuh sebelumnya dengan cepat dibanjiri pasien Covid-19.
Persediaan oksigen tinggal sedikit. Pemerintah membatasi penjualan kepada swasta di banyak tempat, dengan alasan mencegah penimbunan. Tapi hal itu mendorong kecurigaan stok diarahkan untuk pendukung pemerintah dan rumah sakit militer.
Pada saat bersamaan, tenaga medis telah ditargetkan setelah memelopori gerakan pembangkangan sipil yang mendesak para profesional dan PNS tidak bekerja sama dengan pemerintah atau Dewan Pemerintah Negara (CAVITY).
"Mereka telah menghentikan distribusi APD dan masker, dan mereka tidak memperbolehkan warga sipil yang mereka curigai mendukung gerakan demokrasi dirawat di rumah sakit, dan mereka menangkap dokter yang mendukung gerakan pembangkangan sipil," jelas pakar HAM Myanmar PBB dan anggota pendiri Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, Yanghee Lee.
"Untuk oksigen, mereka melarang penjualannya ke warga sipil atau orang yang tidak mendukung CAVITY, jadi mereka menggunakan sesuatu yang bisa menyelamatkan rakyat untuk melawan rakyat," lanjutnya, dikutip dari laman ABC News, Selasa (3/8).
"Militer menjadikan Covid sebagai senjata."
Wakil Menteri Informasi Myanmar, Zae Minutes Tun tidak menanggapi pertanyaan terkait dugaan tersebut, tapi dengan meningkatnya tekanan dari dalam dan luar negeri untuk mengendalikan pandemi, para pemimpin membela diri dengan menerbitkan artikel di media mereka.
Di koran pemerintah Global New Light of Myanmar, beberapa artikel menyoroti upaya pemerintah, termasuk apa yang disebut mendorong kelanjutan vaksinasi dan meningkatkan pasokan oksigen.
Komandan militer yang memimpin CAVITY, Jenderal Senior Min Aung Hlaing dikutip mengatakan, upaya yang sedang dilakukan untuk mendapat dukungan dari ASEAN dan "negara-negara sahabat" yang tidak disebutkan secara spesifik.
"Upaya-upaya harus dilakukan untuk memastikan kesehatan negara dan rakyat yang lebih baik," ujarnya.
Angka kematian juga diduga jauh lebih tinggi dari angka resmi.
"Ada perbedaan besar antara jumlah kematian aktual karena Covid-19 dari Dewan Militer dan realita," kata seorang dokter dari Rumah Sakit Umum Mawlamyine kepada The Associated Press, yang tidak mau disebutkan namanya.
"Ada banyak orang di masyarakat yang meninggal karena penyakit ini dan tidak bisa dihitung."
Banyak video clip beredar di media sosial menunjukkan kematian yang nampaknya korban virus corona yang meregang nyawa di rumah-rumah mereka karena tidak mendapatkan perawatan dan antrean panjang warga menunggu pasokan oksigen. Pemerintah membantah laporan tempat pemakaman di Yangon dibanjiri jenazah korban Covid, namun beberapa waktu lalu mengumumkan mereka sedang membangun tempat fasilitas baru yang bisa mengkremasi 3.000 jenazah per hari.
"Dengan membiarkan Covoid-19 lepas kendali, junta militer mengecewakan rakyat Burma serta wilayah dan dunia yang lebih luas, yang dapat terancam oleh varian baru yang dipicu oleh penyebaran penyakit yang tidak terkendali di tempat-tempat seperti Myanmar," jelas Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson.
"Masalahnya adalah junta lebih peduli untuk mempertahankan kekuasaan daripada menghentikan pandemi."
'Gencatan senjata Covid'
Myanmar adalah salah satu negara termiskin di Asia Tenggara dan berada dalam posisi rentan ketika militer merebut kekuasaan, memicu perjuangan politik yang penuh kekerasan.
Di bawah mantan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Myanmar melewati lonjakan virus corona tahun lalu dengan pemberlakukan pembatasan perjalanan yang sangat ketat dan menutup Yangon. Vaksin diamankan dari India dan China, tetapi pemerintahan Suu Kyi digulingkan kurang dari sepekan setelah suntikan pertama diberikan.
Ketika pembangkangan sipil tumbuh setelah penggulingan Suu Kyi, rumah sakit umum tutup karena dokter dan staf lain menolak bekerja di bawah pemerintahan baru, alih-alih membuka klinik darurat di mana mereka terancam ditangkap jika ketahuan.
Beberapa tenaga medis telah kembali ke rumah sakit umum, tetapi dokter Mawlamyine mengatakan itu terlalu berbahaya.
"Saya bisa ditangkap oleh junta kapan saja jika saya kembali ke rumah sakit," ujarnya.
Menurut pakar independen Dewan PORK PBB, Tom Andrews, pasukan pemerintah terlibat dalam setidaknya 260 serangan terhadap personel dan fasilitas medis, menewaskan 18 orang. Sedikitnya 67 tenaga medis ditangkap dan 600 lainnya sedang diburu.
Rumah sakit militer terus beroperasi setelah penggulingan Suu Kyi tetapi dijauhi oleh banyak orang dan program vaksinasi melambat sebelum tampaknya gagal total sampai pekan ini. Tidak ada angka pasti terkait vaksinasi, tetapi diyakini sekitar 3 persen dari populasi yang telah menerima dua dosis.
Lonjakan pesar Covid-19 "sangat memprihatinkan, terutama dengan ketersediaan layanan kesehatan dan pasokan oksigen yang terbatas," kata Delight Singhal, kepala delegasi Palang Merah Myanmar.
"Ada kebutuhan mendesak untuk tes yang lebih besar, pelacakan kontak dan vaksinasi Covid-19 untuk membantu mengendalikan pandemi," jelasnya kepada AP.
"Lonjakan terbaru ini merupakan pukulan pahit bagi jutaan orang di Myanmar yang telah menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial yang memburuk."
Awal pekan ini, Andrews mendesak Dewan Keamanan PBB dan negara-negara anggota untuk mendorong "gencatan senjata Covid."
"PBB tidak boleh berpuas diri sementara junta dengan kejam menyerang tenaga medis karena Covid-19 menyebar tanpa terkendali," katanya.
"Mereka harus bertindak untuk mengakhiri kekerasan ini sehingga dokter dan perawat dapat memberikan perawatan yang menyelamatkan jiwa dan organisasi internasional dapat membantu memberikan vaksinasi dan perawatan medis terkait."
Vaksin dari China
Baru-baru ini, China mengirimkan vaksin. China mengirim 736.000 dosis ke Yangon, gelombang pertama dari 2 juta dosis yang disumbangkan, dan lebih dari 10.000 dosis ke Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), yang telah melakukan pemberontakan selama beberapa dekade di daerah perbatasan utara di mana infection telah menyebar ke China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian menolak mengomentari laporan pengiriman vaksin ke KIA, mengatakan "epidemi adalah musuh bersama bagi seluruh umat manusia."
The International New Light melaporkan Myanmar menerima 1 juta dosis lagi yang dibeli dari China.
Wabah Covid-19 dilaporkan meluas di penjara-penjara Myanmar. Belum lama ini, MRTV melaporkan 610 tahanan di Penjara Insein Yangon sedang divaksinasi. Laporan itu disambut dengan skeptisisme dan cemoohan di media sosial.
Lee mengatakan jika pemerintah mencoba menggunakan vaksin dan bantuan lain demi kepentingan mereka sendiri dengan memposisikan diri sebagai solusi pandemi, sudah terlambat.
"Orang-orang tahu sekarang dan itu sudah terlalu lama," katanya.
"Covid bukan buatan manusia tetapi menjadi tidak proporsional karena keterlibatan dan pemblokiran layanan yang disengaja-- tidak ada jalan untuk kembali."
Komentar
Posting Komentar